pemotongan-rp392-triliun-anggaran-pip-ancaman-bagi-4-juta-siswa-rentan-putus-sekolah

saintgeorgesflushing – Kebijakan pemotongan anggaran Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar Rp3,92 triliun pada RAPBN 2024 memicu kekhawatiran besar di kalangan pegiat pendidikan. Padahal, PIP selama ini menjadi penyangga utama bagi 19,4 juta siswa dari keluarga miskin dan rentan untuk tetap mengakses pendidikan. Dengan pengurangan ini, sekitar 4 juta siswa berisiko kehilangan kesempatan bersekolah akibat ketiadaan dana transportasi, seragam, atau biaya operasional lainnya.

Akar Masalah: Perubahan Skema atau Prioritas Anggaran?

Berdasarkan dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, alokasi PIP dipangkas dari Rp15,3 triliun (2023) menjadi Rp11,38 triliun. Pemerintah beralasan pemotongan dilakukan karena refocusing anggaran untuk program padat karya seperti Kartu Prakerja. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan (KMSP) menilai langkah ini kontraproduktif.

“PIP adalah investasi jangka panjang untuk memutus rantai kemiskinan. Memotongnya sama dengan menggali lubang bagi masa depan anak-anak marjinal,” tegas Mansur Fakih, Sekjen KMSP. Data Kemendikbud 2022 menunjukkan, 68% penerima PIP berasal dari keluarga dengan penghasilan di bawah Rp500.000 per bulan.

Dampak Langsung pada Siswa Rentan

Di Kabupaten Sumba Timur, NTT, Maria Lolo (15), siswa kelas IX yang menerima PIP Rp1 juta per semester, mengaku khawatir: “Uang PIP saya pakai beli sepatu, buku, dan bayar iuran listrik sekolah. Kalau dihentikan, saya mungkin harus membantu orang tua jualan di pasar.” Kisah Maria mewakili 1,2 juta siswa SMP dan 2,8 juta siswa SMA/SMK yang terancam drop out.

Analisis Risiko: Angka Putus Sekolah Bisa Melonjak

Berdasarkan proyeksi UNICEF Indonesia, pemotongan 25% anggaran PIP berpotensi meningkatkan angka putus sekolah sebesar 3-5% di daerah tertinggal. Di Papua, misalnya, 40% siswa SMA mengandalkan PIP untuk transportasi harian ke sekolah. Sementara di Jawa Barat, dana PIP digunakan 70% keluarga untuk membeli kuota internet pembelajaran.

“Tanpa PIP, banyak orang tua akan memprioritaskan anaknya bekerja ketimbang sekolah. Ini bertolak belakang dengan target SDGs Pendidikan 2030,” ujar Clara Siwabessy, Peneliti Kebijakan Pendidikan di SMERU Institute.

Respons Pemerintah: “Akan Dialihkan ke Bantuan Lain”

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat kerja dengan DPR (22/9), menyatakan bahwa penghematan anggaran PIP akan dikompensasi melalui program lain seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan bantuan operasional sekolah (BOS). Namun, praktisi pendidikan menilai kedua skema itu tidak menggantikan fungsi PIP yang bersifat langsung ke siswa.

“KIP Kuliah hanya untuk lulusan SMA, sedangkan BOS dialokasikan ke sekolah, bukan ke siswa. Pemerintah perlu menjelaskan mekanisme penyaluran yang tidak tumpang tindih,” kritik Indra Charismiadji, Direktur Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS).

Desakan dari DPR dan Civil Society

Komisi X DPR RI mendesak pemerintah merevisi alokasi PIP minimal ke level 2023. “Kami akan menggunakan hak budget untuk memastikan dana pendidikan 20% APBN diutamakan untuk program yang menyentuh langsung masyarakat,” tegas Ketua Komisi X, Syaiful Huda.

Di sisi lain, koalisi NGO pendidikan menggalang petisi daring yang telah ditandatangani 120.000 orang. Mereka mendesak Presiden Jokowi mencabut kebijakan ini sebelum disahkan dalam RUU APBN 2024.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Sementara negosiasi anggaran masih berlangsung, ribuan siswa seperti Maria tetap berharap PIP tidak hilang. “Saya ingin jadi guru. Tolong jangan ambil kesempatan kami untuk belajar,” pintanya.